Gunungan merupakan salah satu bagian dari pertunjukan wayang. Biasanya fungsinya adalah sebagai pembuka ataupun penutup dari pertunjukan wayang. Selain itu, gunungan pada pertunjukan wayang juga menjadi simbol dari gunung, pohon, angin, samudera dan beberapa hal lainnya. Nah, saat ini, gunungan wayang Jogja menjadi salah satu kerajinan tembaga yang dijadikan sebagai hiasan interior di rumah.
Wayang adalah cara unik salah seorang wali songo, yaitu Sunan Kalijaga dalam menyampaikan dakwah Islam di tanah Jawa. Sehingga, gunungan wayang Jogja ini memiliki banyak makna yang tersimpan di dalamnya. Menjadikan gunungan tembaga sebagai hiasan interior rumah dan mengetahui maknanya bisa memberikan kepuasan tersendiri.
Gunungan Wayang Jogja
Dinamakan gunungan karena salah satu benda yang digunakan dalam pewayangan ini memang berbentuk seperti gunung. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dikerjakan yaitu sholat. Adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
Ada tiga macam penggunaan gunungan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit, yaitu:
- Sebagai tanda pembukaan dan penutupan cerita. Seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara. Sebelum wayang dimainkan, gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan. Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat
- Sebagai tanda pergantian jejeran (adegan/babak). Gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri
- Untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar dan membantu menciptakan efek tertentu (saat peran menghilang/berubah bentuk). Untuk melambangkan api atau angin, ini sisi gunungan dibalik dan di sebaliknya hanya terdapat cat merah-merah. Warna inilah yang melambangkan api
Gunungan wayang ada dua macam, yaitu Gunungan Gapuran dan Gunungan Blumbangan. Gunungan Blumbangan digubah oleh Sunan Kalijaga dalam zaman Kerajaan Demak. Kemudian pada zaman Kartasura digubah lagi dengan adanya Gunungan Gapuran.
Gunungan dalam istilah pewayangan disebut Kayon. Kayon berasal dari kata Kayun. Gunungan mengandung ajaran filsafat yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan. Semua itu mengandung makna bahwa lakon dalam wayang berisikan pelajaran yang tinggi nilainya. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang juga berisi pertunjukan wayang juga berisi ajaran filsafat yang tinggi.
Kerajinan Gunungan dari Tembaga
Setelah mengetahui kegunaan gunungan atau kayon dalam pewayangan, maka terlihat bahwa gunungan ini dekat sekali dengan kultur kebudayaan Jawa. Dinamakan wayang kulit karena sebenarnya karakter pewayangan termasuk gunungan merupakan produk dari kulit sapi. Namun gunungan yang kita bahas ini terbuat dari logam tembaga.
Karena filosofianya, wajar saja jika gunungan akhirnya dijadikan hiasan gambar pada baju, hiasan interior pada ruangan dan lain-lain. Nah, untuk Anda yang ingin menjadi gunungan sebagai hiasan interior ruangan, Anda dapat memesannya kepada pengrajin kerajinan tembaga di Cepogo.
Cepogo yang berada di Kabupaten Boyolali menjadi pusat sentra kerajinan tembaga di Indonesia. Terdapat banyak pengrajin dan rumah-rumah warga yang dijadikan showroom berbagai produk kerajinan tembaga. Sehingga tampak bahwa daerah ini sudah sangat tua dan berpengalaman dalam membuat aneka kerajinan tembaga.
Sejarah kerajinan tembaga cepogo ini tidak lepas dari sejarah Desa Cepogo sendiri. Terdapat sebuah dukuh yang disebut Tumang. Tumang berasal dari sebutan Hantu Tumamang yang menurut kepercayaan masyarakat setempat pada waktu itu merupakan roh halus yang tampak saat prosesi pembakaran mayat. Kepercayaan dan prosesi ini masih lekat dengan pengaruh Hindu sebagai kepercayaan sebagaian besar masyarakat pada waktu itu.
Dukuh Tumah yang berada di Desa Cepogo dan menjadi pusat pemerintahan desa pada waktu itu. Suatu ketika, sekitar tahun 1930 M, penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat, Pakoe Boewono X mencari salah satu pusaka keratonnya yang hilang. Menurut penasehat Raja, pusaka keraton ini kemungkinan berada di Tumang.
Maka, Pakoe Boewono X beserta prajurit berusaha melacak pusaka ini ke Dusun Tumang. Usaha ini dilakukan dengan mengadakan ritual cara keraton. Pada saat Raja mengambil pusaka yang telah ditemukan, Raja memperhatikan aktivitas penduduk Tumang.
Para penduduk Tumang pada waktu itu bekerja, salah satunya sebagai jasa perbaikan peralatan rumah tangga. Pada saat itu peralatan rumah tangga seperti alat-alat dapur terbuat semuanya dari tembaga. Dari sinilah kemudian penduduk setempat dikenal sebagai pengrajin tembaga.
Sebelum beranjak, Raja Pakoe Boewono tidak lupa memberikan nasehat kepada penduduk, “Wis terusno, besuk bakal dadi dalan rejekimu”. Nasehat ini dipahami dan mendorong para penduduk untuk mengetahui cara memproduksi kerajinan tembaga bahkan hingga generasi anak cucunya sekarang. Di Desa Cepogo saat ini akan terlihat banyak tempat yang memamerkan produk kerajinan tembaga.
Jika dulu produk-produk tembaga yang ada berkisar antara peralatan dapur dan rumah tangga, maka sekarang berbeda. Hal ini didorong persaingan yang ketat karena terdapat banyak produksi peralatan dapur dan rumah tangga yang berbahan baku lebih murah. Sehingga para pengrajin berinovasi memproduksi kerajinan dalam bentuk lainnya.
Produk Kerajinan Tembaga
Terdapat banyak produk kerajinan tembaga yang sering dilayani oleh pengrajin. Beberapa diantaranya seperti replika pintu masjid nabawi, bingkai cermin, helm ukir tembaga, bathtub tembaga, lampu gantung hias, air mancur dan produk-produk lainnya. Semua dibuat menggunakan bahan baku tembaga dan kuningan.
Semoga informasi ini bisa memberikan wawasan dan manfaat untuk Anda. Simak terus ulasan berbagai produk kerajinan lainnya di copperleluhur.com. Untuk pemesanan produk kustom dari logam tembaga dan kuningan, hubungi nomor kontak yang terdapat di website secara langsung.