Di era kolonial, uang tembaga memiliki peran yang sangat penting dalam sistem ekonomi dan keuangan. Sejarahnya mencakup masa-masa di mana kekuatan kolonial menggunakan uang tembaga sebagai alat tukar.
Pada zamannya, uang tembaga menjadi simbol otoritas penguasa kolonial dan mencerminkan dinamika perdagangan serta kebijakan moneter yang diberlakukan. Uang tembaga juga mencerminkan kekayaan dan ada hubungannya dengan kebijakan ekonomi.
Penggunaan Mata Uang dari Waktu ke Waktu
Sebelum membahas mengenai uang tembaga di era kolonial, sebelumnya kita akan membahas terlebih dahulu perkembangan alat tukar dari masa ke masa sampai akhirnya sampai pada era penjajahan belanda.
Karena perlu Anda ketahui, alat tukar telah mengalami evolusi signifikan dari masa ke masa sebelum mencapai era penjajahan Belanda di Indonesia. Dimulai dengan sistem barter, manusia menukar barang dengan barang.
Kemudian muncul uang barang dengan nilai intrinsik, seperti garam atau biji-bijian. Lalu penggunaan logam seperti tembaga, emas, dan perak menjadi uang logam yang umum digunakan.
Perkembangan ini kemudian mengarah pada penggunaan uang kertas dan sistem perbankan. Di era kolonial, mata uang yang dominan adalah Gulden Belanda. Selain itu, uang tembaga juga digunakan sebagai duit recehan.
Sekarang duit recehan yang berasal dari peninggalan era kolonialisme menjadi barang antik yang banyak diburu oleh para kolektor. Hal tersebut sama dengan benda-benda bersejarah lain seperti guci antik, patung, keris, dan benda-benda pusaka dan lainnya.
1. Uang pada Masa Kejayaan Hindu Budha
Sebelum zaman kerajaan Hindu-Buddha, kebutuhan akan alat pembayaran di Nusantara memaksa lahirnya sistem pembayaran yang dapat diterima secara umum untuk menggantikan sistem barter.
Awalnya alat pembayaran sederhana seperti kulit kerang digunakan di wilayah Irian, manik-manik digunakan di Bengkulu dan Pekalongan. Sementara wilayah Bekasi menggunakan belincung (sejenis kapak batu) sebagai alat pembayaran.
Pada periode kerajaan Hindu-Budha, alat pembayaran mengalami perkembangan signifikan, terutama dalam pemilihan bahan dan penggunaan desain. Di Jawa, alat pembayaran sudah terbuat dari logam pada masa itu.
Mata uang tertua adalah krisnala (uang ma) yang berasal dari abad ke-12 dan terbuat dari emas dan perak. Mata uang ma berasal dari Kerajaan Jenggala. Kerajaan Buton di luar Jawa juga meninggalkan uang Kampua pada abad ke-9.
Kerajaan Hindu-Buddha besar seperti Sriwijaya dan Majapahit memiliki mata uang sendiri, walaupun uang peninggalan dari Sriwijaya belum ditemukan. Uang gobog dari tembaga, diperkirakan beredar pada abad ke-14 hingga ke-16.
Uang tersebut adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Selain sebagai alat pembayaran, uang ini juga memiliki nilai spiritual yang tinggi.
2. Uang pada Masa Kerajaan Islam
Pada abad ke-15 ketika agama Islam menyebar di wilayah Nusantara, terjadi peredaran beragam mata uang yang diterbitkan oleh kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Aceh, Jambi, Banten Palembang, dan Sumenep.
Mata uang yang umumnya digunakan memiliki tulisan Arab. Sebagai contoh, uang Kerajaan Jambi menampilkan tulisan Arab “sanat 1256” di sisi belakang dan “cholafat al mukmin” di sisi depannya.
Keunikan terdapat pada uang Kerajaan Sumenep yang awalnya berasal dari mata uang asing, kemudian diberi cap “sumenep” menggunakan aksara Arab. Ini menjadi bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu memainkan peran besar.
Kerajaan-kerajaan tersebut turut aktif dalam kegiatan niaga di Nusantara sehingga mata uang kerajaan tersebut beredar bersamaan dengan mata uang asing yang bahkan dapat dipertukarkan.
Sebagai contoh satu real spanyol setara dengan 16 emas (dirham) Aceh, dan 4 shilling Inggris setara dengan 5 emas (dirham) Aceh.
3. Uang pada Masa Kolonialisme
Pada masa kini istilah “duit” secara umum dikenal sebagai sinonim dari uang dalam masyarakat. Namun, jika kita mengulas balik sejarah ke era kolonial di Nusantara, kata “duit” ternyata bukan sekadar sebutan umum untuk uang.
Kata duit digunakan untuk merujuk pada sebuah mata uang konkret. Dalam Ruang Numismatik Museum Bank Indonesia, koleksi mata uang zaman kolonial disajikan layaknya jendela ke masa lalu.
Uang tembaga atau duit recehan pertama kali diperkenalkan pada masa VOC di tahun 1727. Langkah ini diambil dengan tujuan menggantikan penggunaan cassie (kepeng) Cina dalam sistem perdagangan.
Secara visual, mata uang ini memiliki bentuk bulat, mirip dengan uang receh jaman sekarang. Sisi depannya menampilkan lambang Provinsi Holland, sementara sisi belakangnya memperlihatkan gambar bunga di bagian atas.
Selain itu terdapat juga monogram VOC di bagian tengah dan tahun penerbitannya, yaitu 1726 di bagian bawahnya. Keberadaan duit sebagai mata uang ini menjadi tonggak sejarah dalam dinamika ekonomi pada masa itu.
Menurut informasi dari bi.go.id, VOC selaku kongsi dagang Belanda yang dominan dalam perdagangan di Nusantara pada periode 1602-1799, aktif berupaya menggantikan semua mata uang asing yang beredar di wilayah tersebut.
Sebagai contoh, untuk menggantikan real Spanyol, mereka mencetak uang real Belanda. Selain itu uang perak Belanda yang bernama rijksdaalder dijadikan sebagai alat pembayaran standar di Nusantara.
Pada tahun 1727, VOC mengenalkan mata uang tembaga yang dikenal sebagai duit, sebagai langkah konkrit dalam upaya mereka mengontrol sistem mata uang di wilayah tersebut. Kemudian pada tahun 1748, VOC juga memperkenalkan uang kertas.
Itulah sejarah penggunaan uang tembaga di era kolonial. Untuk mendapat informasi menarik lainnya seputar penggunaan logam tembaga Anda bisa update terus artikel terbaru di website resmi Copper Leluhur.
Selain berbagi informasi menarik, kami juga memberikan tips-tips bermanfaat yang didapatkan dari para pengrajin tembaga profesional. Kami berharap informasi dan tips-tips yang dibagikan bisa menambah wawasan dan menjadi referensi tambahan bagi Anda.